Assalamu alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarokatuh.

Selamat datang di Blog Kelas 3 SDIT Luqman Al Hakim, Yogyakarta

Semoga ini bisa menjadi wasilah silaturahim diantara keluarga siswa kelas 3

Partisipasi anda merupakan kebanggaan kami. Jazakallah khoiron katsiro

Kamis, 13 Januari 2011

Membentuk Anak Berkepribadian Mandiri

Hindari Terus-terusan Menyalahkan

“Biar Ibu yang melakukan!” kalimat seperti ini sering terdengar ketika seorang ibu mulai kewalahan menghadapi anaknya yang banyak beraktivitas. Baik itu saat menuangkan air, mandi, atau pun berpakaian. Ketika sang anak terlihat mulai membuat kesalahan, maka banyak orang tua cenderung mengambil alih aktivitas tersebut dan membiarkan anak tidak menyadari kesalahannya. Sikap cenderung melindungi seperti ini timbul karena orang tua ingin segalanya serba cepat dan berharap anak akan segera belajar dari apa yang dilakukannya.

Padahal keadaannya tidaklah demikian. Perkembangan jiwa anak sesungguhnya terbentuk dari berbagai pengalaman-kesalahan yang diciptakannya sendiri. Anak harus dibiarkan memiliki keinginan dan rasa tahu yang besar akan hal-hal yang baru. Biarkan mereka merasakan hal yang baru tersebut, agar mereka tahu baik tidaknya hal tersebut. Kalau belum apa-apa orang tua sudah menurunkan “bala bantuan”, maka anak akan terus berharap bantuan orang tuanya cenderung takut berekplorasi pada hal-hal yang baru.

PERLUNYA KEGIATAN BERSAMA

Pembentukan karakter ini disarankan untuk dirintis sejak bayi. Bayi yang baru lahir biasanya memiliki sendiri kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Untuk menyatakan keinginannya, bayi biasanya menggunakan gerak fisik seperti: menangis, menjambak rambut ibunya.

Perhatikan dengan seksama bagaimana bayi kita mengekspresikan keinginannya, kemudian berikan respek terhadap keinginannya tersebut. Misalnya: perhatikan benar perbedaan tangis ketika ia mulai bosan, mulai lapar atau mengantuk. Bentuk tangisnya pasti berbeda. Kalau bayi kita menangis karena kantuk segera buailah ia hingga tidur atau ajaklah ia bermain dengan mainan yang lain ketika ia mengeluarkan tangisan karena bosan.

Kalau matanya menghindar dari tatapan mata kita, maka itu pertanda ia sedang asyik dengan dunianya sendiri. Jangan memaksanya untuk memandang kita karena bayi juga memerlukan waktu untuk dirinya sendiri, walau hanya beberapa saat. Akan sama halnya ketika ia mulai mengambil mainan dan membuangnya.

Pada saat seperti ini bayi mulai melakukan kontrol tidak hanya pada dirinya namun juga pada ibu/ayahnya. Ketika ia membuang mainannya, bayi sedang menunjukkan kemampuannya untuk mengontrol orang lain. Para orang tua harus menunjukkan sikap toleransi dan kooperatif untuk tindakan bayi seperti ini. Biarkan itu terjadi karena itu merupakan bagian dari perkembangan jiwa untuk mengontrol lingkungannya.

Bayi pun harus mulai disosialisasikan sejak dini. Jangan biarkan ia berkesempatan menumbuhkan sifat cuek terhadap lingkungannya. Bila sempat, senandungkan lagu anak-anak setiap kali kita bermain bersama. Ajaklah ia juga bernyanyi, biarkan ia mendengarkan suara dan lagu yang kita nyanyikan. Tak punya waktu bernyanyi bersama? Putarkan kaset lagu anak-anak. Coba juga, lakukan kegiatan bersama dengan berbagai bentuk permainan seperti cilukba, pok ame-ame, dan sebagainya. Intinya, sejak awal kita mesti mengajak bayi bersosialisasi dengan orang lain, melakukan kegiatan bersama dengan orang lain di lingkungannya.

TIDAK MENYALAHKAN

Begitu melewati usia setahun, anak mulai menunjukkkan sikap kemandirian baik dalam segi fisik maupun emosi. Mereka mampu mencari kesenangan sendiri dengan bermain-main sendiri, misalnya, selama kurang lebih 20 menit. Mereka mulai menjelajahi berbagai hal. Juga bereksperimen seolah-olah mereka sudah menjadi anak besar. Orang tua hendaknya memberi mereka kebebasan untuk berekplorasi, namun dalam batasan yang “disepakati”.

Misalnya jika ia ingin minum air jeruk di gelas besar seperti ayahnya, beri ia kesempatan melakukannya di dapur misalnya. Dengan begitu, air yang tumpah dari gelas bisa segera dibersihkan. Atau jika anak ingin melakukan hal ini di restauran, beri ia celemek dada (dari saputangan atau serbet misalnya) sehingga tumpahan airnya tidak mengotori meja makan restoran.

Biarkanlah anak-anak berkembang sesuai tahapan yang harus dilaluinya. Ini harus kita ingat benar. Jangan sekalipun mematahkan tahapan yang harus dilalui tersebut karena anak bisa menjadi takut bahkan trauma. Jika anak takut melihat jerapah yang tinggi berleher jenjang, hindari berkata, “Apa sih yang kamu takutkan? Jerapah itu baik hati kok”. Biarkan anak menentukan sikapnya pada kita. Katakan, misalnya, “Kalau kamu takut, jangan dekat-dekat kandang jerapah”, atau “Apa sebaiknya kita pindah ke kandang gajah?”. Pendeknya, jangan membiarkan anak seolah melarikan diri dari situasi yang menurutnya menakutkan. Beri kesempatan mereka mulai belajar mengambil keputusan dan menanggung risiko dari pilihan yang telah diambilnya.

Hal penting lainnya, jangan pernah menyalahkan anak atas keputusan yang telah diambilnya, meski itu salah. Karena ini adalah salah satu langkah untuk membentuk sikapnya yang mandiri. Banyak orang tua yang tidak menyadari hal ini dan senantiasa berada di belakang anak dan segera membantu/menyalahkan anak jika ia membuat kesalahan. Ini sama saja dengan memadamkan secara perlahan inisiatif anak yang mulai timbul.





BIARKAN MENCOBA

Memasuki usia pra-sekolah, anak mulai banyak melakukan kegiatan mandiri. Anak usia 3 tahun misalnya, mulai menunjukkan sikap mandiri seperti: menggosok gigi dan memakai baju, tanpa bantuan orang lain. Mereka juga mulai belajar berkata-kata dalam satu kalimat penuh. Memasuki usia 5 tahun, anak mulai mampu mengikat sepatunya sendiri, menggunting tanpa terluka, dan mampu menuliskan nama lengkapnya.

Di balik ini semua, hal-hal tersebut bisa dilakukan anak karena anak sudah mampu membangun kemandirian emosi dan intelektual. Mereka juga sudah mampu asyik bermain dengan diri sendiri selama 1,5 jam, dan mulai menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari suatu keluarga yang memiliki orang tua.

Mereka umumnya juga mulai suka memaksakan keinginan, seolah tiap keinginannya mesti dituruti. Hadapi situasi ini dengan bijak. Tanggapi kemauan anak dengan melibatkannya dengan diri kita sendiri. Misalnya: gadis cilik kita bersikeras ingin membuat kue. Lakukan kegiatan memasak kue ini bersama. Biarkan ia yang mengaduk tepung dan kita yang memasukkannya dalam oven.

Jika anak tidak tepat memadankan pakaian atasan dan bawahannya, jangan langsung menertawakan bahkan memarahinya. Biarkan mereka mencoba segala hal yang baru sesuai keinginanya. Menyalah-nyalahkan bisa memperburuk perkembangan jiwanya. Arahkan perlahan, ajak ia memadupadankan pakaian secara bergantian hingga mereka mampu mendapatkan padanan yang tepat.

Begitupula jika anak kita cenderung penakut dan selalu memprediksi lingkungan yang baru dengan hal yang buruk, maka kita sebagai orang tua bertugas untuk menenteramkan jiwanya dan meyakinkannya bahwa sesungguhnya lingkungan baru itu sangat aman. Bujuklah ia dengan hal-hal yang menyenangkan. Kalau dia senang bermain pasir di taman permainan yang luas, misalnya, katakan bahwa ia akan tetap aman tanpa kita di sampingnya. Karena setiap ia memerlukan kita, kita senantiasa ada di bangku yang tidak jauh dari gundukan pasir tempatnya bermain.

Tentu saja hal yang sama tidak bisa diterapkan terus ketika anak kita mulai masuk sekolah. Anak yang cenderung menempel terus pada orang tuanya, tidak boleh dibiasakan untuk ditunggui di luar kelasnya. Bangun terus kepercayaan dirinya dan yakinkan bahwa sekolah adalah tempat bermain yang menyenangkan.

MENGAMBIL PUTUSAN SENDIRI

Hal besar yang terjadi pada usia sekolah adalah adanya pengaruh teman lingkungannya dalam pembentukan identitas diri anak. Secara kontinyu, anak akan mulai terus membentuk pribadi yang seolah benar-benar jauh berbeda dari orang tuanya dan terus menempa kemauannya sendiri. Pada akhir kelas 2, seorang anak akan mulai lebih selektif dalam memilih buku ataupun pakaian yang sesuai dengan seleranya, mulai mampu memelihara hobinya (terhadap binatang, barang misalnya), juga mulai mampu berinisiatif melakukan permainan yang diinginkan tanpa ditemani orang tuanya.

Pada fase ini, orang tua hendaknya bersikap seperti “jaring pengaman” bagi anak dan bukannya sebagai perahu penyelamat di tengah laut. Kalau ia ingin menginap di rumah temannya, berilah izin. Jemputlah jika malam itu juga ia ternyata rindu rumah maupun ayah-ibunya. Pada tahap usia ini, kita harus membiarkan anak merasakan pelajaran dari apa yang diinginkannya, meskipun ujungnya adalah sesuatu yang kurang mengenakkan seperti contoh menginap tadi. Tentunya lain waktu anak kita tidak akan tergiur untuk menginap di rumah temannya karena ia sudah tahu rasa tidak enak bila menginap. Biarkan dan dengarkanlah celoteh anak kita yang ternyata merasakan tidak enak tidur dirumah orang lain lalu ajaklah ia mengambil suatu sikap sebagai bekal di kegiatan yang lain. Dengan cara ini anak akan dapat mengambil pelajaran yang paling baik untuk dijadikan solusi bagi dirinya ketika menghadapi keinginan yang lain.

Pendekatan “mengambil keputusan sendiri” ini akan sangat bermanfaat bagi anak yang tidak menunjukkan sikap inisiatif yang besar. Misalnya, saat anak kita menghadapi tugas sekolah untuk menyelesaikan karangan, beri kesempatan padanya untuk mengeluarkan ide. Jangan sekali-sekali kita langsung berinisiatif mengajaknya bertukar pikiran agar karya tulis itu cepat selesai dan sempurna. Karena menjadi orang tua yang baik adalah dengan membiarkan anak berkembang sesuai porsinya.

Kiriman: Sita Sakari/RB

1 komentar: